Permasalahan ini bermula dari asumsi menikah karena ‘kecelakaan’ hanya sah
di hadapan negara. Sehingga ketika si wanita telah melahirkan maka wajib
mengadakan nikah ulang agar sah sesuai syariat. Benarkah demikian? Untuk mengetahui
hal ini kita tertuntut untuk membahas bagaimana sebenarnya hukum menikah karena
hamil di luar nikah.
Beberapa kitab menampilkan kesan adanya ijma’ tentang sahnya menikahi wanita
pezina. Misalnya dalam Raudhah:
فرع لو نكح حاملا من الزنا صح نكاحه بلا خلاف
وهل له وطؤها قبل الوضع وجهان أصحهما نعم إذ لا حرمة له ومنعه ابن الحداد
روضة الطالبين وعمدة المفتين ج8 ص375
Atau dalam Fathul Bari:
قال بن عبد البر وقد أجمع أهل الفتوى من الأمصار على أنه لا يحرم على الزاني
تزوج من زنى بها
فتح البار ج9 ص164
Namun demikian redaksi ungkapan ijma’nya tidak sharih. Perkataan an-Nawawi
‘bila khilaf’ (tanpa ada perbedaan pendapat) bisa merujuk pada tiadanya
perbedaan pendapat dalam satu madzhab, yakni Syafi’iyah dalam konteks Imam
Nawawi. Demikian pula perkataan Ibnu Abdil Birri ‘minal amshar’ (dari
segolongan tempat) bisa merujuk pada ulama di tempat tertentu saja.
Bukti dari tidak adanya ijma’ adalah pernyataan al-Mawardi ada tiga pendapat
hukum menikahi wanita pezina. Pertama, halal menurut jumhur fuqaha’ dan
sahabat. Kedua, tidak halal menurut beberapa sahabat. Ketiga, halal dengan
catatan (al-Hawi al-Kabir 9/492-493).
Secara spesifik sebenarnya ada lima pendapat berbeda tentang hukum menikahi
wanita pezina:
1. Mutlak tidak sah.
Didukung oleh Ali, Aisyah, dan Bara’ ibn ‘Azib. Serta masing-masing satu
riwayat Abu Bakar, Umar, Ibnu Mas’ud, dan Hasan Bashri (al-Hawi al-Kabir
9/492-493, al-Mughni Ibnu Qudamah 7/518, Tafsir al-Alusi 13/326).
Pandangan ini didasarkan pada QS. An-Nur: 3, yakni:
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا
يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina,
atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian
itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”
2. Mutlak sah.
Didukung oleh asy-Syafi’ie dan madzhabnya (al-Hawi al-Kabir 9/497-498). Kalangan Syafi’iyah berargumen pada ayat 24 QS. An-Nisa:
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ
“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.”
Ayat an-Nisa itu turun setelah menjelaskan wanita-wanita yang haram
dinikahi. Dengan demikian selain wanita yang telah disebutkan halal untuk dinikahi,
termasuk wanita yang berzina.
Dikuatkan dengan sabda Nabi SAW:
لَا يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلَالَ
“Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan/menjadikan mahram pada (orang)
yang halal” (HR. ibnu Majah dan Baihaqi).
Abu Bakar berkata: Bila seseorang menzinai wanita lain maka tidak haram bagi
orang itu untuk menikahinya.
Sedangkan mengenai Surat an-Nur ayat 3. Al-Mawardi (al-Hawi al-Kabir 9/494)
menyebut ada tiga takwilan terhadap ayat ini:
1. Ayat itu turun khusus pada kisah Ummu Mahzul, yakni ketika ada seorang
laki-laki meminta izin Rasulullah akan wanita pelacur bernama Ummu Mahzul.
2. Ibnu Abbas mengartikan kata ‘yankihu’ dengan ‘bersetubuh’, sehingga maksud
ayat tersebut: “Laki-laki yang berzina tidak bersetubuh melainkan (dengan)
perempuan yang berzina…dst.”
3. Menurut Sa’id ibn Musayyab telah dinasakh oleh QS. An-Nisa ayat 3:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.”
3. Sah dengan syarat Selama menikah tidak berhubungan badan dengan istri sampai dia melahirkan.
Didukung oleh Abu Hanifah dalam satu riwayat (asy-Syarh al-Kabir 7/502-503,
al-Hawi al-Kabir 9/497-498).
Abu Hanifah berargumen meskipun sah dinikahi, tapi tidak boleh disetubuhi
sebelum melahirkan. Termaktub dalam hadits:
لَا تَسْقِ بِمَائِكَ زَرْعَ غَيْرِكَ
“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
menyiramkan air (mani)nya ke tanaman [35] orang lain” (HR. Abu Dawud dan
Ahmad).
4. Sah dengan syarat Menikahnya dilakukan setelah wanita melahirkan (istibra’).
Didukung oleh
Rabi’ah, Sufyan Tsauri, Malik, Auza’ie, Ibnu Syubrumah, Abu Yusuf, dan Abu
Hanifah dalam riwayat yang lain (al-Hawi al-Kabir 9/497-498, asy-Syarh al-Kabir
7/502-503).
Mereka berpendapat wanita hamil zina memiliki iddah sehingga haram dinikahi
sebelum selesai iddahnya. Dalil mereka adalah QS. Ath-Thalaq ayat 4:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil itu ‘iddah mereka sampai mereka
melahirkan.”
Disebutkan juga dalam hadits:
أَلَا لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرَ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى
تَحِيضَ
“Ingatlah, tidak disetubuhi wanita hamil hingga ia melahirkan dan tidak juga
pada wanita yang tidak hamil sampai satu kali haidh” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan
Ad-Darimi).
5. Sah dengan syarat menikahnya dilakukan setelah wanita istibra’ plus telah
bertaubat.
Didukung oleh Abu Ubaidah, Qatadah, Ahmad ibn Hanbal, dan Ishaq
(al-Hawi al-Kabir 9/492-493, Tafsir Ibnu Katsir 6/9-10).
Ibnu Qudamah (Syarhu Kabir 7/504) menjelaskan bahwa sesuai bunyi terakhir
ayat 3 surat An-Nur, ‘wa hurrima dzalika ‘alal mukminin’, keharaman menikahi
pezina diperuntukkan bagi orang mukmin (yang sempurna). Sehingga ketika telah
bertaubat dari zina leburlah dosa, kembali menjadi bagian dari orang-orang
mukmin, dan hukum haram baru bisa terhapus. Sebagaimana hadits:
التائب من الذنب كمن لا ذنب له
“Seorang yang telah bertaubat dari dosa itu layaknya tidak ada dosa padanya”
(HR. Hakim, Ibnu Majah, Thabrani, dan Baihaqi).
Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan
seorang perempuan, apakah boleh dia menikahinya ? Jawab Ibnu Umar, “Jika
keduanya telah bertaubat dan keduanya berbuat kebaikan (yakni beramal shalih)”
(Al-Muhalla 9/ 475).
Dalam hal ini tidak ada perbedaan apakah wanita tersebut dinikahi oleh
laki-laki yang menzinai ataupun orang lain. Dari sudut pandang Syafi’iyah
karena hamil hasil zina tidak ada kehormatan apapun yang perlu dijaga seperti
percampuran nasab. Dari perspektif ulama lainnya karena telah disyaratkan tidak
adanya hubungan badan.
Tersebut dalam Bughyah:
(مسألة : ي ش) : يجوز نكاح الحامل من الزنا سواء الزاني وغيره ووطؤها حينئذ مع
الكراهة.
الكتاب : بغية المسترشدين ص419
Juga dalam Mughni Ibnu Qudamah:
فصل : وإذا وجد الشرطان حل نكاحها للزاني وغيره
[ المغني - ابن قدامة ] ج7 ص518
Jadi jika melihat kembali pada kasus awal, apakah nikahnya harus diulang?
Maka jawabannya jelas tidak. Sebab menurut Syafi’iyah dan satu riwayat Abu
Hanifah nikahnya telah sah sejak awal. Wallahu a’lam
Gus Umam Zain (PISS-KTB)
Posting Komentar